Mitos Gunung Merapi dan Mbah Maridjan ( yogyakarta )

 

Gunung Merapi adalah salah satu gunung berapi paling aktif di dunia dan terletak di antara Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain terkenal karena aktivitas vulkaniknya, Gunung Merapi juga memiliki nilai mistis yang sangat tinggi dalam budaya masyarakat Jawa. Masyarakat di sekitar gunung percaya bahwa Gunung Merapi bukan hanya sekadar gunung, melainkan tempat keraton makhluk halus yang tak kasat mata, yang disebut sebagai Keraton Gaib Merapi.

Gunung ini diyakini dihuni oleh para lelembut (makhluk halus) yang dipimpin oleh seorang penguasa supranatural. Oleh karena itu, penduduk setempat senantiasa hidup berdampingan dengan rasa hormat terhadap kekuatan alam dan dunia gaib yang dipercaya berada di dalamnya.

Kisah Awal: Hubungan Keraton Jogja dan Keraton Merapi

Menurut kepercayaan Jawa, terdapat hubungan spiritual antara Keraton Yogyakarta dan Keraton Gaib Merapi. Kedua kerajaan ini dianggap sebagai bagian dari keseimbangan kosmis yang saling melengkapi. Keraton Jogja mewakili dunia nyata atau dunia manusia (alam kasat mata), sedangkan Keraton Merapi mewakili dunia gaib (alam tidak kasat mata).

Untuk menjaga hubungan baik dan keseimbangan antara dua dunia tersebut, diadakan ritual labuhan dan berbagai upacara tradisional yang dipimpin oleh tokoh spiritual yang disebut juru kunci.

Mbah Maridjan, Sang Juru Kunci Gunung Merapi

Salah satu tokoh paling terkenal yang berkaitan dengan Gunung Merapi adalah Mbah Maridjan. Ia adalah juru kunci Gunung Merapi yang sangat disegani, tidak hanya oleh masyarakat sekitar tetapi juga oleh tokoh-tokoh nasional. Nama aslinya adalah Mas Penewu Suraksohargo, namun lebih dikenal dengan sebutan Mbah Maridjan.

Ia dilahirkan pada tahun 1927 di Desa Kinahrejo, Cangkringan, Sleman, tepat di lereng selatan Gunung Merapi. Ayahnya juga merupakan seorang juru kunci, dan Mbah Maridjan kemudian menggantikan peran itu setelah ayahnya wafat. Ia diangkat secara resmi oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada tahun 1982.

Sebagai juru kunci, tugas Mbah Maridjan bukan hanya mengamati aktivitas gunung dari sisi fisik dan geologis, tetapi juga menjaga hubungan spiritual antara manusia dan penghuni gaib Merapi. Ia memimpin berbagai upacara adat seperti Labuhan Merapi, di mana persembahan diberikan kepada roh-roh penjaga Merapi agar gunung tetap damai dan tidak “murka.”


Pandangan Hidup dan Kesetiaan

Mbah Maridjan dikenal sebagai sosok yang sangat setia dan teguh pada prinsip hidupnya. Ia hidup sangat sederhana, menolak segala bentuk kemewahan dan popularitas, meskipun pernah menjadi bintang iklan dan dikenal luas oleh masyarakat Indonesia.

Yang paling dikenal dari Mbah Maridjan adalah kesetiaannya kepada tugas sebagai juru kunci. Dalam berbagai kesempatan, ia menyatakan bahwa tugas menjaga Merapi adalah amanah dari raja (sultan), dan tidak bisa ditinggalkan.

Letusan Merapi 2006 dan 2010

Pada tahun 2006, Gunung Merapi mengalami erupsi besar. Mbah Maridjan tetap bertahan di rumahnya meski telah diperintahkan untuk mengungsi. Namun, pada saat itu, ia selamat, dan banyak masyarakat semakin menghormatinya sebagai sosok sakral yang "tidak tersentuh" oleh amukan alam.

Namun, pada tanggal 26 Oktober 2010, Gunung Merapi kembali meletus dengan sangat dahsyat. Pemerintah dan aparat sudah mengimbau seluruh penduduk, termasuk Mbah Maridjan, untuk segera mengungsi. Namun ia menolak. Mbah Maridjan tetap tinggal di rumahnya karena merasa bahwa ia harus menjalankan tugas spiritualnya hingga akhir hayat.

Erupsi besar itu menghasilkan awan panas atau wedhus gembel yang melanda desa Kinahrejo. Beberapa hari kemudian, tim penyelamat menemukan jenazah Mbah Maridjan dalam posisi bersujud di ruang belakang rumahnya. Ia gugur bersama puluhan warga lainnya.

Kepergian Mbah Maridjan menyisakan duka mendalam. Namun, ia dihormati sebagai pahlawan lokal dan simbol pengabdian yang total. Ia dianggap sebagai penjaga nilai-nilai Jawa, simbol kesetiaan, keteguhan hati, dan penghormatan terhadap alam.

Warisan Spiritual

Setelah wafatnya Mbah Maridjan, jabatan juru kunci diteruskan oleh anaknya, Asih Lurah Surakso Sihono atau biasa disebut Mas Asih, yang kini menjalankan tugas dengan semangat yang diwariskan oleh ayahnya.

Hingga kini, kisah Mbah Maridjan dan Gunung Merapi tetap menjadi inspirasi dan pelajaran hidup. Tidak hanya sebagai cerita tentang keberanian dan kepercayaan spiritual, tetapi juga sebagai peringatan tentang pentingnya menghormati alam, menjaga tradisi, dan menghayati makna tanggung jawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bawang Merah dan Bawang Putih - Indonesia

Legenda Batu Menangis (Kalimantan)

Burung Bangau dan Kepiting - Rakyat Nusantara