Legenda Batu Menangis (Kalimantan)
Pada zaman dahulu kala, di sebuah desa kecil di Kalimantan, hiduplah seorang janda tua bersama anak perempuannya yang sangat cantik. Anak itu memiliki wajah yang elok, kulit yang putih bersih, dan rambut panjang hitam yang indah. Karena kecantikannya, sang gadis menjadi sangat manja dan sombong.
Ia tak pernah membantu ibunya bekerja. Setiap hari ia hanya berdandan, bersolek, dan bermalas-malasan. Ibunya yang sudah tua dan lemah harus bekerja keras, pergi ke ladang, mengangkat air, dan mencari kayu bakar, sementara sang anak hanya menikmati hidup.
Tak hanya malas, si gadis juga sangat malu mengakui ibunya. Ia merasa ibunya tua, miskin, dan tidak pantas disebut sebagai orang tuanya yang cantik. Berkali-kali sang ibu menasihatinya agar berubah, tetapi si gadis tidak pernah mendengarkan.
Suatu hari, sang ibu mengajak anaknya ke pasar untuk membeli kebutuhan pokok. Karena perjalanan cukup jauh dan cuaca sangat panas, sang ibu berpakaian sederhana dan lusuh. Sebaliknya, si gadis memakai pakaian terbaiknya agar tampak anggun.
Dalam perjalanan menuju pasar, mereka melewati desa lain. Warga desa yang melihat keindahan si gadis pun memuji dan bertanya, "Siapa wanita tua yang berjalan bersamamu itu? Apakah dia ibumu?"
Namun apa jawaban si gadis?
Dengan wajah malu dan suara pelan ia berkata, "Bukan... dia bukan ibuku. Dia hanya pembantuku."
Mendengar itu, hati sang ibu terasa hancur. Ia sangat sedih dan kecewa mendengar anaknya menyangkal hubungan darah mereka hanya karena rasa malu.
Namun, sang ibu tidak marah. Ia hanya diam dan berdoa dalam hati. Ia menengadah ke langit dan berkata, "Ya Tuhan, anak hamba sangat durhaka. Hamba telah membesarkannya dengan kasih sayang, namun ia mengingkari hamba di depan orang-orang. Bila benar dia anak hamba, hukumlah dia dengan keadilan-Mu."
Tak lama kemudian, langit mendadak menjadi gelap. Angin bertiup kencang, disusul dengan gemuruh petir yang menyambar-nyambar. Si gadis ketakutan dan berlari memeluk ibunya sambil menangis, “Ibu... ampuni aku... aku menyesal…”
Namun semuanya sudah terlambat. Tubuh si gadis perlahan-lahan berubah menjadi kaku. Kakinya membatu, lalu tubuhnya, hingga seluruh tubuhnya berubah menjadi batu. Dari celah-celah matanya mengalir air yang tak pernah berhenti, seolah ia terus menangis menyesali perbuatannya. Oleh sebab itulah, batu itu kemudian dikenal sebagai Batu Menangis.
Komentar
Posting Komentar